Orang jawa yang njawani


Padha gulangen ing kalbu

Pak Brengos Pacitan

Pak Brengos Pacitan


Ing sasmita amrih lantip
Aja pijer mangan nendra
Kaprawiran den kaesthi
Pesunen sariranira
Sudanen dhahar lan guling

Satu bait diatas adalah salah satu lagu atau tetembangan macapat Kinanthi, salah satu kebudayaan jawa yang walaupun dasar kelimuan saya adalah olahraga, saya menyukai tembang itu, karena berisi nasehat dan petuah bagi saya. Dan bagi saya pribadi, menjadi orang jawa, dilahirkan dalam keadaan sebagai orang jawa dan juga berada dilingkungan jawa yang menjunjung tinggi nilai dan adat jawa itu adalah sebuah anugerah sendiri. Betapa tidak, dalam kamus orang jawa, nilai – nilai, norma – norma, telah menjadi hukum adat yang menjadi kebiasaan bagi masyarakatnya. Hal ini saya dapatkan dalam kehidupan saya sebagai orang jawa semenjak dulu, misalnya pelajaran tentang tata krama, atau sopan santun. Dalam kamus orang jawa, tata krama bergaul, sopan santun dalam sikap sangat dijunjung tinggi dan menjadi satu kebiasaan pergaulan. Yang saya ingat adalah hal tentang tindak tanduk, yakni pengajaran tentang tatakrama itu sendiri, yang muda menghormati yang tua, yang tua menyayangi yang muda, atau bagi sebuah keluarga, yang muda mikul dhuwur mendhem jero keluarganya, atau pengajaran tentang budi pekerti, tatakrama dalam bergaul dengan sesama, dan seterusnya.

Kebetulan saya pribadi lahir dan dibesarkan dalam keluarga Jawa tulen (walaupun saya agak2 mirip orang jepang gitu sih, 😀 ), jadi ya sedikit banyak tahu tentang kehidupan orang jawa, bagaimana mereka memegang teguh konsep persatuan dan kesatuan, juga bagaimana mereka menjunjung tinggi value dalam kehidupan mereka. Simbah saya dari bapak adalah seorang mantri dizaman belanda, tetapi juga pandai dalam hal kejawen, sehingga hal itu menurun ke anaknya yang laki – laki. Tercatat pakdhe saya, bapak saya sendiri, kemudian paklik saya adalah seorang yang mempunyai keahlian kejawen masing – masing. Pakdhe dan bapak sering didapuk menjadi ketua manten, atau yang biasa disebut pasrah temanten. Kemudian paklik saya sebelum sekarang menjadi ketua UPT adalah guru nari SD. Ketiga – tiganya sangat lihai dalam hal bahasa jawa dan tetembangan. Terkhusus bapak saya, karena beliau juga akhirnya saya sedikit banyak tahu tentang semua hal terkait kejawen, baik itu bahasa, tetembanganpewayangan, titi mangsa, dan sebagainya.

Dulu waktu SD, saya sangat hafal tentang dunia pewayangan, misalnya kalau yang saya sukai itu tokoh pewayangan Arjuna, dia adalah anak ketiga dari keluarga Pandawa, yang berasal dari Madukara, dan juga dia adalah lelananging jagad, artinya orang tertampan di dikeluarga pandhawa (ehm). Bahkan saking senengnya dunia pewayangan, saya sering membuat wayang dari bahan kardus, atau juga sering melantunkan tetembangan macapat, misal yang saya sukai itu tembang Dandhanggula, atau pucung. Juga dalam dunia grammar Jawi, keluarga kami dirumah sangat komitmen untuk menerapkan hal itu, dilatih untuk menghormati yang tua dengan bahasa krama inggil yang baik, sehingga sampai sekarang pun sudah menjadi kebiasaan kalau saya dan kakak saya menggunakan bahasa jawa krama inggil untuk bercakap dengan orang tua.

Kalau berbicara masalah persatuan dan kesatuan, masyarakat jawa ternyata sangat menjunjung tinggi nilai ini, setidaknya ini berlaku untuk mereka dalam pengamatan saya secara pribadi ketika bergaul dengan msayarakat didesa saya. Misalnya ketika ada satu keluarga yang sedang mempunyai hajat, para tetangga juga ikut membantu suksesnya acara itu, acara nikahan atau sunatan, atau acara membuat rumah misalnya. Atau kalau ada meomentum menjelang puasa, ada tradisi bersih desa, yang biasanya kerja bakti bersama membersihkan jalanan utama desa atau kampung.

Satu – satunya hal dalam masalah jawa yang tidak saya kuasai dan saya terus terang juga kurang berminat adalah huruf jawa. entah kenapa sejak awal saya kurang minat saja untuk mempelajarinya, sehingga kadang saya dapat nilai jelek ketika ulangan yang ada banyak tentang huruf jawanya. Hufft.

Inilah kelebihan dari kebudayaan jawa, yang alhamdulillah saya sangat bersyukur menjadi bagian dari budaya jawa itu sendiri. Tetapi yang menjadi satu problematika mendasar yang terjadi saat ini adalah, bahwa orang jawa, atau sebagian diantara kita kehilangan identitas jawanya. Kehilangan karakter budaya jawa, bahkan terkesan semakin jauh meninggalkan idealismenya sebagai pewaris budaya jawa. Dalam salah satu bait di tembang macapat mengajarkan banyak hal tentang nasihat untuk berbuat kebaikan, tentang petuah untuk menjauhi angkara murka, perintah untuk mengedepankan ilmu itu sendiri, tetapi kondisi yang terjadi saat ini, banyak orang jawa tapi tidak njawani. Seakan – akan budaya jawa itu hanya simbol pemanis belaka, tanpa menginternalisasi dalam segala tindakan mereka. Salah satu contoh ya para pemimpin kita yang juga berstatus sebagai orang jawa, banyak yang terlibat keangkara murkaan (baca:korupsi), padahal dalam budaya jawa tidak diajarkan itu sama sekali, dan bahkan dilarang untuk melakukan tindakan yang dilarang, baik oleh adat maupun agama.

Contoh lain betapa ternyata masyarakat jawa kembali kehilangan identitasnya adalah para generasi mudanya, ini saya alami langsung ketika berinteraksi dengan teman – teman dari jurusan jawa ketika PPL beberapa waktu yang lalu. Betapa mereka lebih mementingkan aspek ‘hafalan’ jawa daripada ‘memahami’ jawa. Mereka begitu jago ketika berkoar – koar tentang jawa, baik tetembangan, bahasa, pewayangan, dan sebagianya. Tetapi ketika berbicara masalah keteladanan sikap, anggah – ungguh, sopan santun, menghargai sesama, seperti yang diajarkan dalam budaya jawa, sedikit sekali, bahkan tidak ada samasekali. Inilah sebenarnya satu hal yang memprihatinkan bagi saya. Mulut mereka jawa tetapi jiwa mereka tidak. Dan ini satu hal yang menurut saya, kalau tidak segera diantisipasi, akan berakibat fatal bagi eksistensi kebudayaan dan adat Jawa. Budaya dan adat jawa semakin tergerus sendiri oleh mereka yang mengaku jawa, tapi tidak njawani.

Apresiasi khusus kepada Gubernur Jawa Tengah saat ini, yang menjadikan Jurusan bahasa Jawa menjadi jurusan yang prospektif, tetapi alangkah baiknya, seharusnya yang kemudian diperbaiki dari menurunnya identitas jawa kita adalah masalah karakter jawa. Menginternalisasikan Konsepsi keluhuran budaya jawa inilah yang seharusnya menjadi kepedulian semua pihak, mengembalikan keluhuran budaya jawa ke  khittah nya semula. Sehingga kalau kemudian kita berbicara tentang keluhuran jawa, itu tak hanya tercermin di mulut kita, dalam semua hal, sikap, budi pekerti, semuanya adalah berbicara tentang kemuliaan jawa. Tidak adigang, adigung, adiguna. Inilah pekerjaan rumah kita bersama, sebagai orang jawa yang njawani. Selamat menjadi the truly javanian.

Sampun paripurna pahargyan prasaja ing ratri kalenggahan punika,

hambok bilih wonten gunyak-gunyuking wicara miwah kiranging subasita

ingkang singular ing reh tata krama, jenang sela wader pari sesonderan,

apuranta menawi lepat atur kawula.

Sepindah malih: tahu kecap Arjosari

menawi wonten keladuking patrap lan pangucap nyuwun agunging sih pangaksami.

Nuwun, matur nuwun.

Oleh : Raden Mas Panji Anom Kaliwinong (Dwi Purnawan)

4 komentar di “Orang jawa yang njawani

Mari berdiskusi