Kegagalan Demokrasi Formalitas Indonesia


Politik dan Demokrasi kita sedang memasuki masa titk nadirnya. Anggapan itu bisa dilihat dari kondisi terakhir demokrasid an perpolitikan kita yang semakin kesini semakin mengalami keterpurukan. Fakta itu didasarkan dari publik yang didera rasa pesimisme dan skeptisme akan keberlanjutan dan keberhasilan proses demokrasi formal di negeri ini. Yang terakhir, publik disuguhi fenomena para politisi kita yang sedang terkena kasus dan hal tersebut semakin memperburuk wajah politik nasional bagi rakyat.

Publik merasa skeptis, pesimis, dan pada akhirnya ketika hal ini terjadi terus menerus, akan mengancam proses demokrasi formal dan kultural yang sedang terjadi di Indonesia. Ancaman itu tak lain dan tak bukan adalah ketika publik sudah antipati terhadap politik karena menganggap bahwa politik adalah pembawa petaka bangi Indonesia. Hal ini tentu menghambat bagi perkembangan Indonesia, mengingat Indonesia dalam kancah dunia masih dalam kategori negara berkembang.

Skeptisme publik terhadap politik dan demokrasi di negeri ini didasari oleh beberapa faktor, mereka pada umumnya berangggapan bahwa politik di Indonesia berada di lubang hitam yang membuat orang banyak alergi untuk memasuki wilayah lubang hitam tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan banyaknya kasus korupsi yang membuat citra dan wajah demokrasi di mata publik semakin terpuruk. Banyak yang beranggapan bahwa perpolitikan nasional kita saat ini telah gagal meletakkan demokrasi berada pada nilai yang sesungguhnya, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Walaupun secara de facto, mekanisme keberlangsungan demokrasi di Indonesia sudah berjalan sebagaimana mestinya sesuai tata aturan yang berlaku, akan tetapi letak permasalahannya adalah kurang berjalannya seperangkat tata nilai itu kedalam keberlangsungan demokrasi. Sehingga dari sebab ketidak seimbangan nilai demokrasi dalam keberlangsungan demokrasi, menyebabkan proses demokrasi kita berjalan timpang. Lebih tepatnya saya menyebut dengan demokrasi formalitas belaka.

Bahaya demokrasi formalitas ini mungkin tidak bisa dirasakan dalam jangka waktu pendek, akan tetapi gejala – gejala yang mulai muncul bisa menjadi bukti shahih, betapa bahayanya demokrasi formalitas ini apabila berlangsung terus menerus. Bahaya yang paling tidak kita harapkan dari keberlangsungan dmeokrasi formalitas ini adalah semakin terpuruknya Indonesia di kancah internasional, Indonesia akan tetap menjadi negara inlander sepanjang zaman ini. Indonesia tidak pernah akan bertemu dengan puncak kejayaannya.

Demokrasi formalitas yang paling nampak di negeri ini ada beberapa model dan bentuk, akan coba saya analisa beberapa model demokrasi formalitas yang sekarang digandrungi para politisi kita. Yang pertama adalah politik citra, ini yang mungkin hampir di semua daerah, hampir di setiap aktivitas politik selalu ada. Politik citra bahasa mudahnya adalah mengedepankan citra politik daripada esensi dan nilai politik. Atau bahasa lebih mudahnya adalah over dalam memoles permukaan kita tanpa memperbaiki esensi dan nilai jantung atau bagian dalamnya. Dan parahnya, masyarakat pada umumnya lebih percaya kepada politik citra daripada politik esensi, ini yang bisa jadi mengancam proses keberlangsungan peletakan nilai demokrasi yang sebenarnya.

Masyarakat saat ini seakan terhipnotis oleh keberadaan politik citra yang berlebihan dalam menyikapi atau melihat suati aktivitas politik. Memang sih, politik citra adalah satu bagian dari politik itu sendiri yang tentu tidak bisa dipisahkan, akan tetapi permasalahannya bukan dari pemanfaatan politik citra tersebut, akan tetapi seperti yang saya katakan dalam paragraf sebelumnya, adalah sikap over dari pemanfaatan politik citra itu yang tanpa dibarengi dengan kesungguhan untuk menggunakan politik nilai dan esensi tersebut. Kalau bisa di bilang, rata – rata prosentasi politik citra dan politik nilai kita saat ini sangat mencolok, yakni 70 berbanding 30.

Padahal seharusnya ketika kita ingin sungguh – sungguh memperbaiki bangsa ini, diawali dari demokrasi yang penuh dengan nilai, sementara bagian penting dari pilar demokrasi itu sendiri justru menjadi bom waktu yang akan meledakkan dan menghancurkan proses keberjalanan demokrasi di Indonesia.

Yang kedua adalah pragmatisme politik, ini juga menjadi satu ancaman serius bagi demokrasi kita, dimana segala – galanya selalu diukur dengan keinginan untuk memperoleh kepentingan sesaat. Salah satu yang dominan dalam bentuk pragmatisme politik ini adalah budaya moneypolitic yang hampir merata di seluruh pelosok Indonesia, dari pejabat dengan struktrur terendah sampai tertinggi sekalipun sering melakukan ini. Budaya politik uang seakan sudah menjadi tradisi turun temurun yang rupanya sampai sekarang masih saja menjadi senjata andalan para politikus untuk menggaet massa. Parahnya lagi, karena kebiasaan yang demikian, masyarakat pun seakan menganggap hal ini lumrah dan pada akhirnya menjadi satu kejadian yang wajib dilakukan oleh para politikus untuk meminta dukungan kepada masyarakat tersebut.

Banyaknya uang menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah aktivitas politik. Inilah fakta yang terjadi dalam dunia demokrasi di Indonesia. Tentu yang mencengangkan adalah fakta yang menyebutkan, kalau calon politisi tidak punya uang banyak untuk menyuap masyarakat, jangan harapkan politisi tersebut memperoleh tujuan yang diinginkannya. Sederhananya, mungkin bahasa tradisi money politic ini adalah, asal ada uang, semua bisa diatur.

Okelah saya sepakat kalau kemudian biaya demokrasi itu sangat mahal, biaya pelaksanaan aktivitas politik itu tidak murah. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah ketika biaya politik dan demokrasi ini justru menjadikan sarana pembodohan bagi rakyat, berarti kan ada yang salah dalam memahami paradigma demokrasi dari para elit kita. Rakyat dijadikan sarana pembodohan, berarti disini bisa dimaknai bahwa para politisi kita telah gagal meletakkan nilai demokrasi itu ke tempat yang sebenarnya. Disini bahkan faktanya saat ini, bisa kita klaim bahwa politik kita saat ini tidak mendewasakan perilaku masyarakat, justru menjadikan masyarakat menjadi manja.

Mungkin beberapa tokoh politisi kita sudah bersikap dewasa dengan tidak menjadikan moneypolitic ini menjadi senjata untuk meraih simpati publik. Salah satu contohnya adalah Ahmad Heryawan, calon Gubernur Jawa Barat yang tidak bersedia memberikan uang atau amplop ketika beberapa masyarakat menanyakan soal ini.

Di satu sisi mungkin sikap ini agak kejam karena bisa saja masyarakat tersebut menyatakan bahwa Aher tidak memihak rakyat dengan tidak memberi uang, akan tetapi, disisi lain apa yang dilakukan Aher tersebut adalah bentuk pendidikan politik yang justru mendewasakan masyarakat. Aher lebih memilih memberikan bantuan konkrit berupa hal – hal yang sifatnya lebih banyak memberikan kebermanfaatan bagi orang banyak dan dalam jangka waktu yang panjang, daripada sekedar memberikan uang yang habis dinikmati sesaat.

Jadi, inilah permasalahan demokrasi kita, dua permasalahan yang menjadikan cita – cita luhur terbentuknya negara Indonesia sejahtera dengan kendaraan demokrasi agak tersendat, sampai saat ini. Dua hal, yakni politik citra dan pragmatisme politik, yang ketika pengelolaannya tidak baik dan berlebihan, akan menjadikan bumerang bagi terselenggaranya demokrasi di Indonesia.

3 komentar di “Kegagalan Demokrasi Formalitas Indonesia

Mari berdiskusi